Laman

Minggu, 09 Desember 2012

Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo


Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, lahir pada tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto (Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Mansur, putra dari  Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab. Sebagai kepala keluarga, Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama.

Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912. Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutnya, beliau pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvernment School sampai tahun 1915.

Mansur Daud kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917. Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAMKA), sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam.

Tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek. Suasana politik yang tak menentu, yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib, membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghindari.



Tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu. Di Negeri itu Mansur Daud kembali pada dunia yang dihadapinya selama ini. Beliau belajar agama di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow, India. Abdul Kalam Azad sebagai Pemimpin  perguruan tersebut langsung jadi pengasuh sekaligus pengajarnya.
Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut ilmu di India. Pengembaraannya buat sementara ke mancanegara usai. Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau Jawa.

Pada tahun 1930 Mansur Daud kembali ke Indonesia dari India. Aktivitas organisasi dimulainya kembali dan diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib, Bukittinggi. Ketika berlangsung Kongres I Sumatra Thawalib (22-27 Mei 1930) yang mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), Mansur Daud ditunjuk sebagai salah seorang anggota Pengurus Besar PMI. Pada Kongres I PMI di Payakumbuh (5-9 Agustus 1930), ia terpilih sebagai sekretaris jenderal PMI. Pada Kongres II PMI di Padang (9-10 Maret 1931), yang memutuskan mengubah organisasi sosial ini men­jadi partai politik yang dikenal dengan nama Per­satuan Muslimin Indonesia (Permi), ia pun ditun­juk sebagai sekretaris jenderal partai ini. Permi, yang berada di bawah pimpinan tokoh-tokoh Su­matra Thawalib dan para bekas mahasiswa dari Cairo (seperti Mochtar Luthfi dan Iljas Jacoub) ini, memperkenalkan ideologi “Islam dan kebangsaan”.
H. Mansur Daud ikut  berperan dalam membentuk partai politik Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Pada tanggal 2 Desember 1932 Mansur Daud ditunjuk Permi sebagai ketua pelaksana Algemene Actie Protes Vergadering Permi, semacam tim perumus yang akan menyusun rancangan protes ter-hadap kebijaksanaan Belanda yang melakukan ordonansi sekolah partikelir, yang lebih dikenal dengan nama ordonansi “sekolah liar”.

Pada tanggal 10 Desember 1934, Mansur Daud ditangkap ketika mengkampanyekan rencana pro­tes yang telah disusun di Curup, Bengkulu, menyusul penangkapan pemimpin utama Permi, yakni H Jalaluddin Taib, H Iljas Jacoub, dan H Mochtar Luthfi. Ketiga tokoh ini kemudian dibuang ke Boven Digul. Datuk Palimo Kayo dipenjarakan di Bukittinggi. Tidak berapa lama kemu­dian ia dipindahkan ke penjara Suka Mulia di Medan. Ia baru dibebaskan dari penjara pada tahun 1935. Kemudian ia kembali ke Bukittinggi. Da­ri situ ia kemudian pergi ke Bengkulu, melakukan kegiatan dakwah pencarian dana pendidikan agama Islam untuk Sumatra bagian Selatan.

Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktivitas H. Mansur Daud.  Pada tahun 1942 ia kembali aktif dalam kegiatan organisasi. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordinasi alim ulama Minangkabau.

Karir politik HMD Datuk Palimo Kayo di tataran negara mulai tampak. Pada tanggal 20 September 1956 ia ditunjuk oleh pemerintah menjadi duta besar RI untuk Kerajaan Irak sampai tahun 1960. Selesai tugasnya menjadi dubes RI di Irak, ia kembali aktif di Masyumi dengan menduduki ja­batan ketua umum Masyumi wilayah Jakarta Raya sampai partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Antara tahun 1961-1967 HMD Datuk Palimo Kayo aktif berdakwah dan menekankan peningkatan kemakmuran umat. Upaya yang dilakukan melalui wadah sosial serupa itu kemudian semakin melengkapi pengabdian HMD Datuk Palimo Kayo dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Dalam musyawarah alim ulama se-Sumatra Barat tanggal 16-27 Mei 1968 di Bukittinggi, Datuk Palimo Kayo terpilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Sumatra Barat. Ketika itu belum ada MUI atau Majlis Ulama Indonesia.

Riwayat hidup HMD Datuk Palimo Kayo yang begitu sarat dengan segala bentuk aktivitas memang layak mendapat perhatian secara ilmiah. Kelangkaan akan keberadaan ulama sekaliber HMD Datuk Palimo Kayo kiranya jadi titik tolak untuk mengenang tokoh ulama ini.

Sejumlah kalangan yang dekat, baik dari keluarga maupun sesama ulama sangat menghargai keberadaannya.
Kalangan akademik kemudian menjadikan sosoknya sebagai sumber tulisan ilmiah sekaligus mencermati kiprahnya sepanjang hayatnya.

Hingga akhir hayatnya, Buya HMD Datuk Palimo Kayo senantiasa teguh dalam sikap telitinya, meskipun terhadap hal sekecil sekalipun.

Dengan berbagai kegiatannya itu, khususnya sumbangannya kepada bangsa dan negara sebelum dan sesudah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada Mansur Daud Datuk Palimo Kayo sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. Pol. 16/II/PK tang-gal 20 Mei 1960, yang kemudian dikuatkan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. Pol. 103/63/PK tanggal 13 Juni 1963.

Setelah mengalami sakit beberapa hari, ia meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Dr. M. Jamil, Padang, dan dimakamkan di Pemakaman Tunggul Hitam Padang. Tokoh ulama besar ini telah meninggalkan kita buat selama-lamanya pada tahun 1988.

0 komentar:

Posting Komentar